September 24, 2008

Pelajaran pra nikah dan tarombo

Sudah lama aku tak mengindahkan blog ini. Maklumlah, jam kerjaku tak lagi seperti dulu. Kebanyakan makan gaji buta yang tidak seberapa.
Pertama kali yang kulihat kali ini adalah gadget yang ada di bagian bawah halaman. 2 months 1 week. Well... keperawananku tinggal menghitung hari. Hahaha... Bukan itu, waktu serasa terbang. Tak satu masakan pun berhasil kukuasai, tak sedikitpun mentalku bertambah siap dari 6 bulan yang lalu (mudah-mudahan yang ini aku salah), tak banyak pengetahuanku bertambah dari kemarin-kemarin.
Tahu apa yang kulakukan akhir-akhir ini di waktu senggangku di kantor? Selain sudah men-download sedikit pelajaran pranikah, aku mulai browsing model kebaya (yang ini aku sudah menyerah, aku menumpukan harapanku pada koleksi majalah sang tukang jahit), aku juga mencari tahu range harga aneka souvenir, dan yang agak-agak norak, aku tadi sore mencari perawatan tubuh pra nikah. Bah, aku tak menyangka ada kursi dan bed khusus untuk v care, yang bolong di bagian tengahnya. Aku sekarang mulai mempertimbangkan puasa.
Di antara berbagai persiapan yang rumit-rumit ini, ada hal yang tak kalah bikin mad bride jadi crazy bride,

MENGHAFAL TAROMBO !!!!!!!!

Aku bukan perempuan batak ala kota besar, yang tak mengerti sama sekali adat. Tidak sama sekali. Aku bisa menjelaskan aku ini boru Hutajulu apa, dari mana, nomor berapa, siapa ompungku. Aku bahkan bisa menceritakan mengapa Marga Sitorus menjadi padanan Pangolu Ponggok. Tapi, keluargaku sendiri tidak bisa dibilang 'terlalu' akrab bersaudara. Aku hanya kenal saudara dan sepupu kandungku saja. Dan ini sangat tidak sesuai dengan tradisi di keluarga Mr. Gift. Keluarga mereka sangat besar. Dan semuanya dekat. Bahkan sampai ompung papanya Mr.Gift bersaudara kandung. Beberapa kali aku ikut acara keluarga besar mereka, aku tetap saja tak bisa mengingat ini siapa, anaknya siapa, apa hubungannya dengan Mr. Gift. Kurasa semua sudah tahu tentang kapasitas otakku. Aku pusing kalau harus mengingat mereka semua. Huh...

Di atas semuanya itu, aku memiliki pergumulan lain yang sekarang menjadi pergumulan terbesar kami berdua. Aku tak bisa katakan itu di muka publik, aku hanya mohon dengan sangat ketulusan doa kecil dari teman-teman yang sayang pada kami.

Juni 28, 2008

Para Mertua

Hari rabu yang lalu, ada partangiangan (kebaktian) wilayah di rumah. Seperti biasa, acaranya mulai 07.30 malam, tapi sampai 08.30 masih 3 pasang suami istri yang datang. Pendeta dan istrinya, Amang Baringin dan istrinya, Amang Sitompul dan istrinya. Mengisi waktu, mereka, para istri, saling bercerita. Inang Sitompul akan mengawinkan anak laki-lakinya bulan Oktober, mami akan menikahkan aku di bulan Desember, dan inang Simanjuntak memiliki sepasang anak yang telah memasuli usia siap nikah. Inang pendeta telah menikahkan sepasang anaknya juga. Karena merasa sudah "senior" dalam hal per-menantu-an, inang pendeta membagikan pengalamannya pada calon-calon mertua ini. Inti percakapan meraka yang kutangkap dari ruangan sebelah, adalah memiliki menantu laki-laki (hela) tidak terlalu berdampak pada psikologis sang ibu. Karena putrinya tak begitu 'berubah'. Tapi memiliki menantu perempuan (paromaen) adalah hal yang berbeda. Inang Pendeta ini baru beberapa bulan memikahkan anak laki-lakinya. Dia bercerita, betapa hatinya 'perih' melihat anak laki-lakinya (bercengkrama?) bersama istrinya. Dia baru menyadari kalau anak laki-lakinya itu bukan miliknya lagi. Anak laki-laki yang dulu mau memeluk dan mencium dia sebelum tidur, sekarang pamit untuk masuk ke kamar bersama istrinya. Anak laki-lakinya yang dulu selalu meminta pendapatnya sebelum memutuskan sesuatu, sekarang lebih memilih untuk berdiskusi dengan istrinya. Hal ini yang secara tidak disadari menyebabkan para ibu menganggap paromaennya adalah 'saingan'.


Aku menarik nafas. Terima kasih inang Pendeta. Itu sangat-sangat membantu, pikirku. Aku saja atau semua calon pengantin merisaukan hal ini. Hubungan dengan ibu mertua. Mungkin dalam ketakutan dan kegalauanku (halah!) selama ini lebih kepada this mother in law thing daripada hubungan pribadiku dengan Mr.Gift. Entahlah. Selama ini yang kudengar tentang hubungan ibu mertua dan menantu selalu saja hal-hal buruk. Mau bagaimanapun cantiknya sang menantu, bagaimanapun pintarnya mencari uang, bagaimanapun hebatnya dia memasak, mengurus rumah dan anak, selalu saja ada alasan buat sang mertua untuk 'mencela' nya. Bagaimana dengan aku? Dan yang lebih buruk lagi, nanti aku akan tinggal bersama dengan keluarga Mr. Gift dalam satu atap. Semua gerak-gerikku akan dipantau. Entahlah. Aku mulai tidak yakin dengan diriku dan keputusanku untuk menikah. Aku merasa semakin gila.

Juni 19, 2008

Songket

Aku sudah punya songket! Hm... satu-satunya persiapanku sejauh ini. Itu juga dikasih gratis oleh Nantulang Pendeta di Tangerang. Awalnya aku diberi pilihan 2 buah. Aku tidak mengerti songket untuk menikah itu harus yang bagaimana. Aku pilih satu yang bermotif pelangi. Ternyata hanya aku yang suka. Mami, Mr.Gift dan mamanya tidak setuju. Akhirnya aku tukar lagi dengan pilihan Mami. Mudah-mudahan nanti aku cantik memakainya...


Mei 23, 2008

Pasar Baru Bekasi

Hari Sabtu Minggu lalu, sepulang dari kantor, Mr.Gift menjemputku. Setiba di rumahnya, aku dan mamanya terlibat 'urusan domestik' di dapur (setidaknya mamanya akan melihat aku tidak anti dengan spatula). Setelah makan bersama sambil menonton tivi, mamanya berniat akan ke pasar untuk membeli bahan makanan untuk dibawa keesokan harinya. Di hari Minggunya. Mr.Gift sekeluarga akan ke rumah tulangnya (adik laki-laki mamanya). Masakan-masakan batak sudah dipesan sehari sebelumnya. Yang akan dibeli di pasar adalah udang sebagai tambahan makanan.

"Kamu ikut aja yah. Temenin Mama." pinta Mr.Gift. Aku mengiyakan.

Tak lama kemudian aku dan mamanya berangkat ke pasar baru yang terletak di dekat terminal Bekasi. Di angkot, kami berbincang mengenai Kak Tiur (saudara kembar Mr.Gift) dan pekerjaannya.

Sampai di tujuan kami langsung menuju tempat menjual ikan basah. Mamanya memilih-milih udang dan ikan setelah kami nyaris berputar-putar karena petunjuk orang yang menyesatkan. Seperti biasanya, para pedangang akan langsung 'tiba-tiba' akrab dengan para pembeli.

"Ini udah murah kok, Bunda.." (siapa yang bunda??)

"Biasanya anaknya yah yang ke pasar Bunda? Kok sekarang mamanya?" (sok tahunya mulai)

Tapi yang mengejutkan,

"Iya, sekarang mamanya sama mantu..."

"O.. bukan anaknya ya? Gak bisa kenalan dong, saya kira keponakannya..."

"Bukan... ini menantu..."

"Kok menantunya cakep yah.."

"Mertuanya juga cantik.." mamanya tak habis kata-kata meladeni ucapan iseng para penjual.



Pulang membawa 4 kilo udang basah, ikan tongkol 2 kilo, ikan gembung, cabe, tomat, tahu dan pepaya yang jumlahnya berkilo-kilo bukan perkara mudah. Kami putuskan untuk pulang naik becak. Menyusun 2 pantat yang tidak kecil, belanjaan yang segunung di becak yang sempit merupakan tantangan tersendiri lagi. Alih-alih sebesar Hercules, abang becaknya sekurus doyok.
Sambil menahan rasa pegal di kaki, kami membicarakan Ricky (adik Mr.Gift) yang paling kecil yang masih harus disuapi walaupun di depan pacarnya.
Semakin lama di perjalanan, aku mulai merasakan kebas di kakiku. Setibanya di depan rumah, aku melangkahkan turun kaki kananku. Begitu menginjakan tanah, aku tak bisa merasakan kakiku, kakiku tak kuat menahan tubuhku. Aku jatuh terduduk di lantai becak dengan kaki kiri masih terlipat di becak. Nyaris 5 menit kemudian baru aku bisa bejalan terpincang-pincang masuk ke dalam rumah.

Updated: Maaf postingnya telat!

Mei 14, 2008

White Board

Akhir minggu lalu Mami memberitahuku bahwa di papan jadwal di ruangan Majelis Gereja telah tertulis, di tanggal 22 Nov "Martupol" dan di tanggal 5 Dec "Pasu-pasu" Kel. Marbun/br Situmorang - Kel. Hutajulu/br. Hutapea.

Semua majelis atau semua orang yang melewati ruangan itu dapat membacanya.

Itu menjelaskan banyak hal. Inang Pendeta yang tiba-tiba tersenyum akrab melihatku memasuki halaman Gereja bersama Mr. Gift. Dia juga memberiku "lapet". Walau aku tak suka lapet, tetap aku terima. Mami dan Papi yang selalu "di-cie-cie-in" oleh jemaat Gereja yang lain.

Padahal sekali lagi, aku belum resmi dilamar...

Mei 06, 2008

Hot Issue...

Hampir semua orang di Gereja membicarakan pernikahan kami. Entah bagaimana bisa tersebar.

April 29, 2008

Keluarga besar

Hari Minggu kemarin aku telah dikenalkan ke keluarga besar Mr. Gift. Memang tidak khusus untuk pemperkenalkan aku, aku diajak oleh mamanya untuk menghadiri acara marhusip (suatu prosesi sebelum pernikahan-Red) saudaranya.

Keluarga besarnya cukup ramah. Nyaris semuanya mencium pipiku. Bahkan ada bapak-bapak juga.


"Sekali akrab dengan mertua, ga boleh jauh lagi....", kata seseorang dari mereka dengan becanda. See...? Aku bahkan belum menikah dengan Mr. Gift.

Suatu saat mereka akan menjadi keluargaku juga. Nantinya aku juga akan menjadi bagian dari mereka. Aku berharap ini akan jadi permulaan yang baik. Amin.


April 25, 2008

Ulang tahun terakhirku

Hari ini aku berulang tahun ke-25.
Tepat setahun yang lalu, seseorang mendoakan aku akan menikah di usia 25.
Aku mengamininya.
Dan tahun ini aku memiliki Mr. Gift di sampingku.

Tak ada black forest tahun ini.
Tak ada hujan sms di tengah malam.
Tak ada tumpukan kotak makanan 'Delivery Order'.
Tapi aku memiliki Mr. Gift di sampingku.

Aku tak mengharapkan kado apapun kali ini.
Aku tak mengharapkan kejutan apapun hari ini.
Cukup hanya dengan kehadiran Mr. Gift di sampingku.

April 22, 2008

Kertas-kertas di atas TV


Semalam, setelah melayat papanya Agnes, aku pulang lebih dulu dari Mami dan Papi. Mataku melihat kertas di atas TV. Tulisan Papi. Ternyata berisi konsep-konsep tentang pernikahanku. Hari-hari penting, rincian biaya, daftar marga yang akan jadi pengundang.

April 21, 2008

Persiapan Inang

Sekarang hari Senin tanggal 21 April 2008.

Kemarin, sehabis kebaktian pagi, aku menghabiskan siang dan soreku di rumah Mr.Gift. Sekitar jam 3, mamanya pulang dari Gereja sesudah menyelesaikan pembukuan keuangan hari itu (Mamanya Mr.Gift adalah bendahara di Gereja kami-Red). Setibanya di rumah, hal pertama yang dicarinya adalah ponsel esia untuk menghubungi 108.



"Selamat siang,mbak, saya mau tanya nomor telepon gedung pertemuan Gorga Tiga yang di Bekasi..."



Oops, sudah mulai mencari gedung, pikirku. Aku tak yakin ingin mendengar atau melihat langsung keluarga ini mempersiapkan pernikahan kami. Ternyata yang barusan aku dengar belum seberapa.



"Bulan November tanggal berapa aja yang kosong inang?... Itu Jumat semua ya?... Kalau bulan Desember?... O begitu... Saya booking yang tanggal 5 desember aja,Inang... Ny.Marbun boru Situmorang... nomor telepon... alamat... Harganya berapa Inang?... Ini gedung aja ya?... DP nya berapa Inang?... Harus minggu ini juga?... Oke Inang..."



Kira-kira seperti itu pembicaraan mereka. Aku hanya diam. Lalu Inang itu mengambil kalender dinding, dan mulai membuka-buka. Melingkari tanggal 5 Desember 2008, sambil berbicara,



"Kalau sudah dapat gedung 'kan kita bisa bergerak. Jadi ada yang diomongin sama pihak parboru (pihak perempuan-Red)."



Tak lama Inang itu, minta nomor telepon Mami. Terjadilah pembicaraan antar ibu.

Setelah itu, mulailah sang ibu dan anaknya merancang tanggal-tanggal penting lainnya. Kapan manopot Tulang (pamit untuk menikah) ,marhusip (pembicaraan resmi kedua belah pihak), dan martupol (semacam pertunangan, 2 minggu sebelum menikah).

Aku tak bisa banyak bicara setiap pendapatku ditanya. Satu hal yang pasti, aku akan bilang ke Mami agar pesta kami nanti di pihak Marbun saja. Aku tak ingin memadamkan semangat Inang itu merencanakan pernikahan kami sampai ke detai-detailnya.